Suatu waktu saya berada dalam posisi menjadi ‘wasit’ diantara dua teman yang terlibat diskusi seru. Akh, saya lebih senang menyebutnya debat kusir. Mereka saling membanggakan moyangnya sebagai seorang bangsawan yang besar dan disegani di masa lampau. Dan seperti biasa, sangat sulit bagi saya untuk menjadi wasit yang baik. Mungkin karena saya terlalu mencintai kedua teman yang berdebat itu dan takut kalau salah seorang diantaranya atau kedua – duanya tersinggung atau merasa terhina.
Teman itu, sebut saja namanya Andi Baso, mengaku keturunan Raja Siang (Kerajaan Siang di Pangkep). Dia secara runtut mengurai silsilah keluarganya sampai 10 generasi ke atas dan supaya tampak meyakinkan, dia menambahkan bahwa sampai sekarang, keluarganya masih menyimpan beberapa senjata pusaka dan lontaraq kerajaan tersebut. Teman yang satunya lagi, sebut saja namanya Puang Lolo, juga tidak mau kalah dan malahan mengatai Andi Baso ini sebagai pembual. ”Mana ada lontaraq Siang, Lontaraq itu nanti ada pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Raja inilah yang memerintahkan Daeng Pamatte menciptakan huruf lontaraq dan itu terjadi sekitar awal abad XVI sedangkan Kerajaan Siang adalah kerajaan kuna, kerajaaan tertua yang tuanya boleh jadi hampir sama dengan Kerajaan Ussu atau Luwu di sebelah timurnya, jauh lebih tua dibanding Kerajaan Gowa di sebelah selatannya atau Kerajaan Bone di sebelah timurnya”, urainya.
Dari diskusi teman diatas, saya ingin memperjelas beberapa hal : Apakah sebenarnya yang dimaksud ’Lontaraq’ itu ? Benarkah Daeng Pamatte yang menciptakan huruf lontaraq itu ? Benarkah Siang (Kerajaan Siang) tidak mempunyai lontaraq ?. Ketika saya menulis buku ”Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2007), buku tersebut mendapatkan penentangan dan bantahan dari beberapa ’keluarga bangsawan’ yang merasa dirinya dilangkahi atau tidak dikonfirmasi terlebih dahulu mengenai asal usulnya. Padahal menurutnya, keluarganya masih memiliki lontaraq yang masih berkaitan dengan sejarah kerajaan atau kekaraengan di masa lampau. Meski dalam kenyataannya, apa yang mereka ungkapkan sebenarnya hanya tak lebih dari tradisi tutur (oral tradition) tentang ’lontaraq’ itu sementara lontaranya sendiri tidak pernah ada.
Kata ’Lontaraq’ sebenarnya mengacu kepada naskah yang berisikan sejarah, tata pemerintahan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan berbagai aspek kebudayaan lainnya. Berdasarkan isinya itulah dibedakan beberapa jenis lontaraq, seperti lontaraq atturiolong, lontaraq bilang, lontaraq adeq, lontaraq ulu’ ada’, lontaraq allopo-loping, lontaraq panguriseng, lontaraq pallao’ ruma dan lontaraq paqbura. (Farid, Abidin, 1972, h.iv). Jenis pustaka lainnya biasa dikenal dengan nama Galigo, Toloq dan Sureq, misalnya Galigona Meonpalo Karellae, Toloqna Petta Malampeq Gemmeqna, dan Sureq Makkelluna Nabitta.
Kalau kata lontaraq dihubungkan dengan nama suatu kerajaan, maka yang dimaksudkan ialah sejarah kerajaan bersangkutan, misalnya Lontaraqna Bone atau Lontaraqna Wajo. Dan jika ia dirangkaikan dengan nama wilayah, daerah atau suku, maka yang dimaksudkan ialah naskah yang menggunakan bahasa daerah bersangkutan, misalnya Lontaraq Ugi, Lontaraq Mangkasa atau Lontaraq Menreq. Ketiga – tiganya dapat saja menggunakan aksara yang sama, namun tetap ia dinamakan demikian.
Aksara lontara adalah buah karya masyarakat Bugis Makassar. Huruf - huruf lontara diperkirakan terinspirasi oleh bentuk segi empat pada jalinan anyaman tikar. Menurut Prof HA Mattulada (alm), aksara lontara’ terinspirasi oleh “sulapa eppa wala suji“. Wala suji berasal dari kata wala yang berarti pemisah / pagar / penjaga dan suji berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa’ (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta : api, air, angin dan tanah.
Pohon Lontar itu dalam Bahasa Makassar disebut tala’, sedang dalam bahasa bugis disebut ta’. Pohon lontar yang batangnya lurus ke atas, tidak bercabang – cabang itu biasa disimbolkan sebagai lambang persatuan penduduknya. Daunnya, batangnya, buahnya dan airnya, semuanya itu dapat dipergunakan manusia dalam hidupnya. Terutama daunnya yang dapat dipakai sebagai kertas di masa lampau (Makassar : lontara’), dan niranya dapat diminum untuk menyegarkan dahaga, dapatlah diambil sebagai perlambang ilmu pengetahuan. Mungkin karena sebab ini pulalah sehingga Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar menjadikan pohon lontara’ sebagai salah satu motif dari lambangnya.
Menurut HD Mangemba, pohon lontaraq itu merupakan pohon yang tumbuh spesifik di Sulawesi Selatan, di sepanjang pesisir selatan dari Gowa sampai Bulukumba. Kurang sekali pulau tempat tumbuhnya di Indonesia. Oleh sebab itu menurut orang Makassar, bahwa dimana saja ada pohon lontar, maka tempat (negeri) itu dahulunya ada hubungannya dengan Kerajaan Gowa.
Sejak Tu-manurung menjadi raja pertama di Gowa, maka daun lontar itulah yang dipakai sebagai payung kerajaan Gowa, yang dalam terminologi Makassarnya disebut, “La’Lang Sipuwe” (La’lang = pajung, sipuwe = sebelah). Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwa sejak tu-manurung, kerajaan Gowa bukanlah suatu daerah yang statis, tetapi suatu daerah yang hendak berkembang menjadi suatu kerajaan yang meliputi bukan saja Sulawesi, tetapi jauh di luar daripada itu. Dan bahwa cita – citanya itu bukanlah suatu khayalan belaka, terbukti dari tertanamnya kepercayaan, bahwa dimana saja ada pohon lontar disitu pula pernah Gowa berkuasa. (?).
Dalam Lontaraq Gowa (Cense, 1978, h. 417) disebutkan bahwa yang “membuat lontaraq makassar” adalah Daeng Pamatte, syahbandar dan perdana menteri pada zaman pemerintahan Raja Gowa IX, Tumapakrisika Kallonna, selain itu Lontaraq Talloq (Wolhoff/Abdurrahim, Bingkisan AI, [1960],h.18) juga mencatat bahwa pada zaman pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna, “ukiran mulai menjadi baik”. Pada kedua catatan tersebut, terdapat perkataan lontaraq dan ukiriq yang sering diartikan tulisan, sehingga pada umumnya orang menganggap Daeng Pamatte-lah yang menciptakan atau yang memperbaharui aksara lontaraq itu (Mills, 1975, jil. II, h. 600-603 dalam Fachruddin AE, 1999 : 34).
Masalahnya sekarang ada dua. Pertama, bolehkah kata ukiriq dan lontaraq dalam catatan tersebut diartikan tulisan ? Kedua, apa yang dimaksudkan pembaharuan aksara itu. (Fachruddin AE, 1999 : 36). Dalam Sejarah Goa (SG), terdapat beberapa kali penggunaan kata “lontaraq” dengan rangkaian kata yang berbeda – beda, yakni : taenapa lontaraq (h.12), ampareq lontaraq (h.18), dan nipailalang lontaraq (h.21), niparilontaraq (h.22), dan palontaraq (h.50). Oleh Wolhoff dan Abdurrahim, kedua yang pertama diartikan tulisan sedangkan ketiga yang terakhir diartikan naskah sejarah.
Selengkapnya dalam SG hal. 12 tersebut berbunyi demikian :
“Sanggenna Tunatangkaqlopi, sanggenna Tumasalangga Baraya(ng), taniassengi bainenna, taniasseng tongai anaqna, passangalinna ansossoranngi maqgauka bicaranna, taniasseng tongai bunduqna, taniasseng tonngai siapa sallona maqgauq, kataenapa lontaraq.”
“Sampai kepada Tunatangkaqlopi, dan sampai kepada Tumasalangga Baraya(ng) tidak diketahui isterinya, tidak diketahui juga anaknya, hanya dikatakan bahwa mereka mewarisi pemerintahan, demikian ceritanya, juga tidak diketahui berapa lamanya memerintah, karena belum ada tulisan lontaraq”.
Jadi, menurut Prof Fachruddin Ambo Enre (Fachruddin AE, 1999 : 37), yang dimaksudkan dengan ‘taenapa lontaraq’ bukan berarti belum adanya tulisan, melainkan belum adanya pustaka yang memuat keterangan tentang raja, berapa lama ia memerintah, siapa isterinya, berapa anaknya, dan peperangan mana ia lakukan. Pustaka yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan “Lontaraq”. Adapun kutipan kedua sebagaimana tertulis dalam SG (h. 18) tersebut berbunyi, “Iapa anne karaeng uru mappareq rapang bicara, timu – timu ri bunduka ; sabannaraqnaminne karaenga nikana I Daeng Pamatte, ia sabannaraq, ia Tumailalang, ia tomminne Daeng Pamatte ampareki lontaraq Mangkasaraka”.
Seperti telah dijelaskan diawal bahwa jika kata lontaraq diikuti oleh kata yang menunjukkan wilayah, daerah atau suku, maka artinya ialah pustaka yang menggunakan bahasa daerah bersangkutan. Jadi frasa ‘ampareki lontaraq mangkasaraka’ sebagaimana kutipan diatas seharusnya diartikan “menyusun pustaka dalam bahasa Makassar” dan bukan “membuat huruf” Makassar. Terlebih lagi jika dirangkaikan dengan kalimat sebelumnya, yang menjelaskan bahwa Karaeng Tumapakrisika Kallonna yang memerintah pada waktu itu membuat undang – undang dan peraturan perang.
Jadi, Daeng Pamatte sebagai perdana menteri dan syahbandarnya itulah yang membukukannya, dan tidak ada hubungannya dengan penciptaan huruf atau aksara, seperti yang banyak ditafsirkan orang. Apalagi jika diingat bahwa pemerintahan raja tersebut pada awal Abad XVI, jauh sesudah aksara Kawi tidak digunakan lagi di daerah Jawa, yang menurut dugaan merupakan model aksara Makassar. (lihat tiga pendapat ahli mengenai asal usul aksara lontara : KF Holle (Holle, 1882, h.6), H. Kern (Kern, BKI, jil. VI, 1882, h. 136), dan RF Mills (Mills, 1975, jil. II, h. 602).
Untuk menjelaskan mengapa Daeng Pamatte dianggap menciptakan huruf lontaraq, Cense (1978 : 23-24) mengambil perkataan ‘angukiriq lontaraq’ dan ‘aqlontaraq’ yang diartikan dengan “menulis huruf makassar” dan “membaca dalam huruf makassar”. Sebenarnya kedua ungkapan tersebut secara umum diartikan “menulis buku” dan “membaca buku yang bernama lontaraq”. Adapun pengertian menulis huruf dalam SG disebut ‘maqlekoq balloq’. (Fachruddin AE, 1999 : 38).
Bahwa Daeng Pamatte mengadakan perbaikan atau perubahan huruf, menurut Prof Fachruddin Ambo Enre ((Fachruddin AE, 1999 : 38), kemungkinan itu tetap saja ada, mengingat bahwa semua aksara tidak ada yang sekali jadi dan berlaku untuk seterusnya tanpa perubahan. Kemungkinan perubahan itu antara lain dapat disebabkan oleh pengaruh dari luar, seperti aksara Kamboja yang mirip dengan aksara lontara pada huruf ga, ba, dan da. Juga karena Daeng Pamatte selain sebagai penulis, juga sebagai syahbandar yang banyak berkenalan dan berurusan dengan orang asing. Jadi perubahan itu menyangkut penggantian beberapa huruf saja dan bukan perubahan dari aksara lama menjadi aksara baru. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan, kedua aksara tersebut disebut Huruf Burung (HB) atau hurufu jangang-jangang dan Huruf Segi Empat (HSE) atau hurufu sulapa appa’.
Pertanyaan terakhir, Benarkah Siang (Kerajaan Siang di Pangkep) tidak mempunyai lontaraq ?. Dalam buku “Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2007), saya memberikan gambaran dua kerajaan tertua di jazirah Sulawesi Selatan, sebagai penguasa tak tertandingi di dua semenanjung sekitar abad XIII – XV, yaitu kerajaan Siang di Semenanjung barat dan Kerajaan Ussu (Luwu) di Semenanjung timur. Dua pakar UNHAS yang pernah saya temui, Dr Nurhayati Rachman dalam kegiatan “Revitalisasi Budaya di Pangkep” di Ruang Kerja Bupati Pangkep (2007) dan Prof Dr Rasyid Asba dalam kegiatan “Seminar Sejarah Kerajaan Siang” di Gedung Kesenian Mattampa (2009), sama – sama mengakui bahwa Kerajaan Siang adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang mungkin boleh jadi lebih tua atau sezaman dengan Kerajaan Ussu (Luwu) di sebelah timurnya.
Pakar lainnya seperti Dr Leonard Y Andaya, Prof Dr Zainal Abidin Farid (alm), Prof Dr Syaharuddin Kaseng, Budayawan Aminullah Lewa juga mengakui usia sejarah Kerajaan Siang yang sangat tua, bahkan dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Kerajaan Gowa pernah menjadi palili (negeri bawahan) Siang, bahkan Budayawan HM Taliu BA yang mengaku pernah bertemu langsung Dr Christian Pelras, (Antropolog, penulis buku ‘Manusia Bugis’) dalam tahun 1975 saat melakukan penelitian di Pangkep mengakui bahwa daerah ini memiliki jejak budaya gemilang di masa lampau.
Arkeolog Dr M Ali Fadhillah dan Irfan Mahmud yang melakukan ekskavasi tapak arkeologi di bekas pusat wilayah kerajaan Siang (2000) menduga bahwa pada abad XV, dua kerajaan tertua, Siang dan Luwu mengalami ancaman penurunan pengaruh dan kehancuran akibat ekspansi dua kerajaan modern yang sangat luar biasa. Kerajaan Gowa, yang menggantikan posisi Siang sebagai penguasa baru semenanjung barat jazirah Sulawesi Selatan dan Kerajaan Bone yang menggantikan supremasi kekuasaan Luwu di semenanjung timur. Pada Abad XVII, kedua kerajaan ini terus menerus berebut pengaruh sebagai simbol kekuasaan Kerajaan Makassar dan Bugis.
Jadi, jika kita berdasar pada usia sejarah Kerajaan Siang, sangat sulit bagi kita untuk bisa memahami bahwa ada keluarga bangsawan di Pangkep yang memiliki dan menyimpan lontaraq Siang ?. Dalam Fadhillah et,al. (2000 : 18), disitu ditunjukkan salinan lontaraq yang menurut Baso Ujung Johar (Pemerhati Budaya) di Pangkep tinggal di Paccelang adalah salinan lontaraq Siang kemungkinannya adalah salinan Toloqna Petta Malampeq Gemmekna yang tidak lengkap, karena isinya hanya berisi perjalanan dan perjuangan Arung Palakka dalam upayanya memerangi Somba Gowa, yang sedikit menyinggung posisi Raja I’bale (orang dari seberang lautan) dengan nama popular I Johoro, yang menemani Arung Palakka sampai di Pariaman.
Makam raja inilah yang popular dengan istilah Ponrok. (I Johoro Matinroe ri Ponrok) di tengah-tengah kawasan sawah dan empang antara Baru-baru dan Paccelang. Dari identifikasi Goedhardt (1933), Pelras menginterpretasikan bahwa I’bale sesungguhnya hidup pada masa konflik Gowa dan Bone (1660-1669), yang itu berarti periode islam. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa salinan lontaraq yang ditunjukan fotonya dalam Fadhillah et, all (2000) diawali dengan tulisan arab berbunyi ”Bismillahi rahmaniir raahim”.
Masa keemasan sejarah Kerajaan Siang sebenarnya, menurut Prof Dr Rasyid Asba (Sejarawan Unhas) kemungkinan antara Abad XIII – XIV. Pada awal abad XV, sudah terjadi penurunan pengaruh akibat penyempitan pelabuhannya (muara sungai siang) sebagai akses utama yang menghubungkan penduduk setempat dengan para pedagang dari sebelah barat kepulauan nusantara ditambah kehadiran Pelabuhan Sombaopu (Kerajaan Gowa) yang lebih populer dan kokoh memperkuat ekspansi. Pada masa ini, Siang hanya sedikit diketahui dari Catatan para pelaut Portugis, Antonio de Payva yang menyinggahi pelabuhan Siang (1542).
Jadi pertanyaan, Benarkah Siang (Kerajaan Siang di Pangkep) tidak mempunyai lontaraq ? Dengan tegas dan yakin, saya menjawab bahwa itu tidak ada. Kemungkinan yang ada adalah lontara tentang salasila kekaraengan di Pangkep pada periode belakangan, yaitu pada masa pemerintahan regentschappen onderafdeeling Pangkajene (masa pemerintahan Hindia Belanda). Dalam lontaraq Akkarungeng ri Bone, ada dijelaskan bahwa Raja Bone La Tenriaji to Senrima Matinroe ri Siang. Tentu saja, Siang yang dimaksud adalah Siang sebagai nama suatu daerah, dan tidak lagi pantas disebut sebagai nama suatu Kerajaan.
Demikian yang dapat saya jelaskan, wallahu ’alam. (***)
Teman itu, sebut saja namanya Andi Baso, mengaku keturunan Raja Siang (Kerajaan Siang di Pangkep). Dia secara runtut mengurai silsilah keluarganya sampai 10 generasi ke atas dan supaya tampak meyakinkan, dia menambahkan bahwa sampai sekarang, keluarganya masih menyimpan beberapa senjata pusaka dan lontaraq kerajaan tersebut. Teman yang satunya lagi, sebut saja namanya Puang Lolo, juga tidak mau kalah dan malahan mengatai Andi Baso ini sebagai pembual. ”Mana ada lontaraq Siang, Lontaraq itu nanti ada pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Raja inilah yang memerintahkan Daeng Pamatte menciptakan huruf lontaraq dan itu terjadi sekitar awal abad XVI sedangkan Kerajaan Siang adalah kerajaan kuna, kerajaaan tertua yang tuanya boleh jadi hampir sama dengan Kerajaan Ussu atau Luwu di sebelah timurnya, jauh lebih tua dibanding Kerajaan Gowa di sebelah selatannya atau Kerajaan Bone di sebelah timurnya”, urainya.
Dari diskusi teman diatas, saya ingin memperjelas beberapa hal : Apakah sebenarnya yang dimaksud ’Lontaraq’ itu ? Benarkah Daeng Pamatte yang menciptakan huruf lontaraq itu ? Benarkah Siang (Kerajaan Siang) tidak mempunyai lontaraq ?. Ketika saya menulis buku ”Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2007), buku tersebut mendapatkan penentangan dan bantahan dari beberapa ’keluarga bangsawan’ yang merasa dirinya dilangkahi atau tidak dikonfirmasi terlebih dahulu mengenai asal usulnya. Padahal menurutnya, keluarganya masih memiliki lontaraq yang masih berkaitan dengan sejarah kerajaan atau kekaraengan di masa lampau. Meski dalam kenyataannya, apa yang mereka ungkapkan sebenarnya hanya tak lebih dari tradisi tutur (oral tradition) tentang ’lontaraq’ itu sementara lontaranya sendiri tidak pernah ada.
* * *
Kata ’Lontaraq’ sebenarnya mengacu kepada naskah yang berisikan sejarah, tata pemerintahan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan berbagai aspek kebudayaan lainnya. Berdasarkan isinya itulah dibedakan beberapa jenis lontaraq, seperti lontaraq atturiolong, lontaraq bilang, lontaraq adeq, lontaraq ulu’ ada’, lontaraq allopo-loping, lontaraq panguriseng, lontaraq pallao’ ruma dan lontaraq paqbura. (Farid, Abidin, 1972, h.iv). Jenis pustaka lainnya biasa dikenal dengan nama Galigo, Toloq dan Sureq, misalnya Galigona Meonpalo Karellae, Toloqna Petta Malampeq Gemmeqna, dan Sureq Makkelluna Nabitta.
Kalau kata lontaraq dihubungkan dengan nama suatu kerajaan, maka yang dimaksudkan ialah sejarah kerajaan bersangkutan, misalnya Lontaraqna Bone atau Lontaraqna Wajo. Dan jika ia dirangkaikan dengan nama wilayah, daerah atau suku, maka yang dimaksudkan ialah naskah yang menggunakan bahasa daerah bersangkutan, misalnya Lontaraq Ugi, Lontaraq Mangkasa atau Lontaraq Menreq. Ketiga – tiganya dapat saja menggunakan aksara yang sama, namun tetap ia dinamakan demikian.
Aksara lontara adalah buah karya masyarakat Bugis Makassar. Huruf - huruf lontara diperkirakan terinspirasi oleh bentuk segi empat pada jalinan anyaman tikar. Menurut Prof HA Mattulada (alm), aksara lontara’ terinspirasi oleh “sulapa eppa wala suji“. Wala suji berasal dari kata wala yang berarti pemisah / pagar / penjaga dan suji berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa’ (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta : api, air, angin dan tanah.
Pohon Lontar itu dalam Bahasa Makassar disebut tala’, sedang dalam bahasa bugis disebut ta’. Pohon lontar yang batangnya lurus ke atas, tidak bercabang – cabang itu biasa disimbolkan sebagai lambang persatuan penduduknya. Daunnya, batangnya, buahnya dan airnya, semuanya itu dapat dipergunakan manusia dalam hidupnya. Terutama daunnya yang dapat dipakai sebagai kertas di masa lampau (Makassar : lontara’), dan niranya dapat diminum untuk menyegarkan dahaga, dapatlah diambil sebagai perlambang ilmu pengetahuan. Mungkin karena sebab ini pulalah sehingga Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar menjadikan pohon lontara’ sebagai salah satu motif dari lambangnya.
Menurut HD Mangemba, pohon lontaraq itu merupakan pohon yang tumbuh spesifik di Sulawesi Selatan, di sepanjang pesisir selatan dari Gowa sampai Bulukumba. Kurang sekali pulau tempat tumbuhnya di Indonesia. Oleh sebab itu menurut orang Makassar, bahwa dimana saja ada pohon lontar, maka tempat (negeri) itu dahulunya ada hubungannya dengan Kerajaan Gowa.
Sejak Tu-manurung menjadi raja pertama di Gowa, maka daun lontar itulah yang dipakai sebagai payung kerajaan Gowa, yang dalam terminologi Makassarnya disebut, “La’Lang Sipuwe” (La’lang = pajung, sipuwe = sebelah). Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwa sejak tu-manurung, kerajaan Gowa bukanlah suatu daerah yang statis, tetapi suatu daerah yang hendak berkembang menjadi suatu kerajaan yang meliputi bukan saja Sulawesi, tetapi jauh di luar daripada itu. Dan bahwa cita – citanya itu bukanlah suatu khayalan belaka, terbukti dari tertanamnya kepercayaan, bahwa dimana saja ada pohon lontar disitu pula pernah Gowa berkuasa. (?).
* * *
Dalam Lontaraq Gowa (Cense, 1978, h. 417) disebutkan bahwa yang “membuat lontaraq makassar” adalah Daeng Pamatte, syahbandar dan perdana menteri pada zaman pemerintahan Raja Gowa IX, Tumapakrisika Kallonna, selain itu Lontaraq Talloq (Wolhoff/Abdurrahim, Bingkisan AI, [1960],h.18) juga mencatat bahwa pada zaman pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna, “ukiran mulai menjadi baik”. Pada kedua catatan tersebut, terdapat perkataan lontaraq dan ukiriq yang sering diartikan tulisan, sehingga pada umumnya orang menganggap Daeng Pamatte-lah yang menciptakan atau yang memperbaharui aksara lontaraq itu (Mills, 1975, jil. II, h. 600-603 dalam Fachruddin AE, 1999 : 34).
Masalahnya sekarang ada dua. Pertama, bolehkah kata ukiriq dan lontaraq dalam catatan tersebut diartikan tulisan ? Kedua, apa yang dimaksudkan pembaharuan aksara itu. (Fachruddin AE, 1999 : 36). Dalam Sejarah Goa (SG), terdapat beberapa kali penggunaan kata “lontaraq” dengan rangkaian kata yang berbeda – beda, yakni : taenapa lontaraq (h.12), ampareq lontaraq (h.18), dan nipailalang lontaraq (h.21), niparilontaraq (h.22), dan palontaraq (h.50). Oleh Wolhoff dan Abdurrahim, kedua yang pertama diartikan tulisan sedangkan ketiga yang terakhir diartikan naskah sejarah.
Selengkapnya dalam SG hal. 12 tersebut berbunyi demikian :
“Sanggenna Tunatangkaqlopi, sanggenna Tumasalangga Baraya(ng), taniassengi bainenna, taniasseng tongai anaqna, passangalinna ansossoranngi maqgauka bicaranna, taniasseng tongai bunduqna, taniasseng tonngai siapa sallona maqgauq, kataenapa lontaraq.”
“Sampai kepada Tunatangkaqlopi, dan sampai kepada Tumasalangga Baraya(ng) tidak diketahui isterinya, tidak diketahui juga anaknya, hanya dikatakan bahwa mereka mewarisi pemerintahan, demikian ceritanya, juga tidak diketahui berapa lamanya memerintah, karena belum ada tulisan lontaraq”.
Jadi, menurut Prof Fachruddin Ambo Enre (Fachruddin AE, 1999 : 37), yang dimaksudkan dengan ‘taenapa lontaraq’ bukan berarti belum adanya tulisan, melainkan belum adanya pustaka yang memuat keterangan tentang raja, berapa lama ia memerintah, siapa isterinya, berapa anaknya, dan peperangan mana ia lakukan. Pustaka yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan “Lontaraq”. Adapun kutipan kedua sebagaimana tertulis dalam SG (h. 18) tersebut berbunyi, “Iapa anne karaeng uru mappareq rapang bicara, timu – timu ri bunduka ; sabannaraqnaminne karaenga nikana I Daeng Pamatte, ia sabannaraq, ia Tumailalang, ia tomminne Daeng Pamatte ampareki lontaraq Mangkasaraka”.
Seperti telah dijelaskan diawal bahwa jika kata lontaraq diikuti oleh kata yang menunjukkan wilayah, daerah atau suku, maka artinya ialah pustaka yang menggunakan bahasa daerah bersangkutan. Jadi frasa ‘ampareki lontaraq mangkasaraka’ sebagaimana kutipan diatas seharusnya diartikan “menyusun pustaka dalam bahasa Makassar” dan bukan “membuat huruf” Makassar. Terlebih lagi jika dirangkaikan dengan kalimat sebelumnya, yang menjelaskan bahwa Karaeng Tumapakrisika Kallonna yang memerintah pada waktu itu membuat undang – undang dan peraturan perang.
Jadi, Daeng Pamatte sebagai perdana menteri dan syahbandarnya itulah yang membukukannya, dan tidak ada hubungannya dengan penciptaan huruf atau aksara, seperti yang banyak ditafsirkan orang. Apalagi jika diingat bahwa pemerintahan raja tersebut pada awal Abad XVI, jauh sesudah aksara Kawi tidak digunakan lagi di daerah Jawa, yang menurut dugaan merupakan model aksara Makassar. (lihat tiga pendapat ahli mengenai asal usul aksara lontara : KF Holle (Holle, 1882, h.6), H. Kern (Kern, BKI, jil. VI, 1882, h. 136), dan RF Mills (Mills, 1975, jil. II, h. 602).
Untuk menjelaskan mengapa Daeng Pamatte dianggap menciptakan huruf lontaraq, Cense (1978 : 23-24) mengambil perkataan ‘angukiriq lontaraq’ dan ‘aqlontaraq’ yang diartikan dengan “menulis huruf makassar” dan “membaca dalam huruf makassar”. Sebenarnya kedua ungkapan tersebut secara umum diartikan “menulis buku” dan “membaca buku yang bernama lontaraq”. Adapun pengertian menulis huruf dalam SG disebut ‘maqlekoq balloq’. (Fachruddin AE, 1999 : 38).
Bahwa Daeng Pamatte mengadakan perbaikan atau perubahan huruf, menurut Prof Fachruddin Ambo Enre ((Fachruddin AE, 1999 : 38), kemungkinan itu tetap saja ada, mengingat bahwa semua aksara tidak ada yang sekali jadi dan berlaku untuk seterusnya tanpa perubahan. Kemungkinan perubahan itu antara lain dapat disebabkan oleh pengaruh dari luar, seperti aksara Kamboja yang mirip dengan aksara lontara pada huruf ga, ba, dan da. Juga karena Daeng Pamatte selain sebagai penulis, juga sebagai syahbandar yang banyak berkenalan dan berurusan dengan orang asing. Jadi perubahan itu menyangkut penggantian beberapa huruf saja dan bukan perubahan dari aksara lama menjadi aksara baru. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan, kedua aksara tersebut disebut Huruf Burung (HB) atau hurufu jangang-jangang dan Huruf Segi Empat (HSE) atau hurufu sulapa appa’.
* * *
Pertanyaan terakhir, Benarkah Siang (Kerajaan Siang di Pangkep) tidak mempunyai lontaraq ?. Dalam buku “Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2007), saya memberikan gambaran dua kerajaan tertua di jazirah Sulawesi Selatan, sebagai penguasa tak tertandingi di dua semenanjung sekitar abad XIII – XV, yaitu kerajaan Siang di Semenanjung barat dan Kerajaan Ussu (Luwu) di Semenanjung timur. Dua pakar UNHAS yang pernah saya temui, Dr Nurhayati Rachman dalam kegiatan “Revitalisasi Budaya di Pangkep” di Ruang Kerja Bupati Pangkep (2007) dan Prof Dr Rasyid Asba dalam kegiatan “Seminar Sejarah Kerajaan Siang” di Gedung Kesenian Mattampa (2009), sama – sama mengakui bahwa Kerajaan Siang adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang mungkin boleh jadi lebih tua atau sezaman dengan Kerajaan Ussu (Luwu) di sebelah timurnya.
Pakar lainnya seperti Dr Leonard Y Andaya, Prof Dr Zainal Abidin Farid (alm), Prof Dr Syaharuddin Kaseng, Budayawan Aminullah Lewa juga mengakui usia sejarah Kerajaan Siang yang sangat tua, bahkan dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Kerajaan Gowa pernah menjadi palili (negeri bawahan) Siang, bahkan Budayawan HM Taliu BA yang mengaku pernah bertemu langsung Dr Christian Pelras, (Antropolog, penulis buku ‘Manusia Bugis’) dalam tahun 1975 saat melakukan penelitian di Pangkep mengakui bahwa daerah ini memiliki jejak budaya gemilang di masa lampau.
Arkeolog Dr M Ali Fadhillah dan Irfan Mahmud yang melakukan ekskavasi tapak arkeologi di bekas pusat wilayah kerajaan Siang (2000) menduga bahwa pada abad XV, dua kerajaan tertua, Siang dan Luwu mengalami ancaman penurunan pengaruh dan kehancuran akibat ekspansi dua kerajaan modern yang sangat luar biasa. Kerajaan Gowa, yang menggantikan posisi Siang sebagai penguasa baru semenanjung barat jazirah Sulawesi Selatan dan Kerajaan Bone yang menggantikan supremasi kekuasaan Luwu di semenanjung timur. Pada Abad XVII, kedua kerajaan ini terus menerus berebut pengaruh sebagai simbol kekuasaan Kerajaan Makassar dan Bugis.
Jadi, jika kita berdasar pada usia sejarah Kerajaan Siang, sangat sulit bagi kita untuk bisa memahami bahwa ada keluarga bangsawan di Pangkep yang memiliki dan menyimpan lontaraq Siang ?. Dalam Fadhillah et,al. (2000 : 18), disitu ditunjukkan salinan lontaraq yang menurut Baso Ujung Johar (Pemerhati Budaya) di Pangkep tinggal di Paccelang adalah salinan lontaraq Siang kemungkinannya adalah salinan Toloqna Petta Malampeq Gemmekna yang tidak lengkap, karena isinya hanya berisi perjalanan dan perjuangan Arung Palakka dalam upayanya memerangi Somba Gowa, yang sedikit menyinggung posisi Raja I’bale (orang dari seberang lautan) dengan nama popular I Johoro, yang menemani Arung Palakka sampai di Pariaman.
Makam raja inilah yang popular dengan istilah Ponrok. (I Johoro Matinroe ri Ponrok) di tengah-tengah kawasan sawah dan empang antara Baru-baru dan Paccelang. Dari identifikasi Goedhardt (1933), Pelras menginterpretasikan bahwa I’bale sesungguhnya hidup pada masa konflik Gowa dan Bone (1660-1669), yang itu berarti periode islam. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa salinan lontaraq yang ditunjukan fotonya dalam Fadhillah et, all (2000) diawali dengan tulisan arab berbunyi ”Bismillahi rahmaniir raahim”.
Masa keemasan sejarah Kerajaan Siang sebenarnya, menurut Prof Dr Rasyid Asba (Sejarawan Unhas) kemungkinan antara Abad XIII – XIV. Pada awal abad XV, sudah terjadi penurunan pengaruh akibat penyempitan pelabuhannya (muara sungai siang) sebagai akses utama yang menghubungkan penduduk setempat dengan para pedagang dari sebelah barat kepulauan nusantara ditambah kehadiran Pelabuhan Sombaopu (Kerajaan Gowa) yang lebih populer dan kokoh memperkuat ekspansi. Pada masa ini, Siang hanya sedikit diketahui dari Catatan para pelaut Portugis, Antonio de Payva yang menyinggahi pelabuhan Siang (1542).
Jadi pertanyaan, Benarkah Siang (Kerajaan Siang di Pangkep) tidak mempunyai lontaraq ? Dengan tegas dan yakin, saya menjawab bahwa itu tidak ada. Kemungkinan yang ada adalah lontara tentang salasila kekaraengan di Pangkep pada periode belakangan, yaitu pada masa pemerintahan regentschappen onderafdeeling Pangkajene (masa pemerintahan Hindia Belanda). Dalam lontaraq Akkarungeng ri Bone, ada dijelaskan bahwa Raja Bone La Tenriaji to Senrima Matinroe ri Siang. Tentu saja, Siang yang dimaksud adalah Siang sebagai nama suatu daerah, dan tidak lagi pantas disebut sebagai nama suatu Kerajaan.
Demikian yang dapat saya jelaskan, wallahu ’alam. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar