Kepustakaan Sejarah, Sosial Budaya, Politik, Hukum, Ekonomi, Filsafat, Pendidikan, Bahasa dan Sastra

Rabu, 27 Juli 2011

Memahami ‘Lontaraq’ : Aksara, Tulisan, atau Pustaka ?

Suatu waktu saya berada dalam posisi menjadi ‘wasit’ diantara dua teman yang terlibat diskusi seru. Akh, saya lebih senang menyebutnya debat kusir. Mereka saling membanggakan moyangnya sebagai seorang bangsawan yang besar dan disegani di masa lampau. Dan seperti biasa, sangat sulit bagi saya untuk menjadi wasit yang baik. Mungkin karena saya terlalu mencintai kedua teman yang berdebat itu dan takut kalau salah seorang diantaranya atau kedua – duanya tersinggung atau merasa terhina.

Teman itu, sebut saja namanya Andi Baso, mengaku keturunan Raja Siang (Kerajaan Siang di Pangkep). Dia secara runtut mengurai silsilah keluarganya sampai 10 generasi ke atas dan supaya tampak meyakinkan, dia menambahkan bahwa sampai sekarang, keluarganya masih menyimpan beberapa senjata pusaka dan lontaraq kerajaan tersebut. Teman yang satunya lagi, sebut saja namanya Puang Lolo, juga tidak mau kalah dan malahan mengatai Andi Baso ini sebagai pembual. ”Mana ada lontaraq Siang, Lontaraq itu nanti ada pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Raja inilah yang memerintahkan Daeng Pamatte menciptakan huruf lontaraq dan itu terjadi sekitar awal abad XVI sedangkan Kerajaan Siang adalah kerajaan kuna, kerajaaan tertua yang tuanya boleh jadi hampir sama dengan Kerajaan Ussu atau Luwu di sebelah timurnya, jauh lebih tua dibanding Kerajaan Gowa di sebelah selatannya atau Kerajaan Bone di sebelah timurnya”, urainya.

Dari diskusi teman diatas, saya ingin memperjelas beberapa hal : Apakah sebenarnya yang dimaksud ’Lontaraq’ itu ? Benarkah Daeng Pamatte yang menciptakan huruf lontaraq itu ? Benarkah Siang (Kerajaan Siang) tidak mempunyai lontaraq ?. Ketika saya menulis buku ”Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2007), buku tersebut mendapatkan penentangan dan bantahan dari beberapa ’keluarga bangsawan’ yang merasa dirinya dilangkahi atau tidak dikonfirmasi terlebih dahulu mengenai asal usulnya. Padahal menurutnya, keluarganya masih memiliki lontaraq yang masih berkaitan dengan sejarah kerajaan atau kekaraengan di masa lampau. Meski dalam kenyataannya, apa yang mereka ungkapkan sebenarnya hanya tak lebih dari tradisi tutur (oral tradition) tentang ’lontaraq’ itu sementara lontaranya sendiri tidak pernah ada.

* * *


Kata ’Lontaraq’ sebenarnya mengacu kepada naskah yang berisikan sejarah, tata pemerintahan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan berbagai aspek kebudayaan lainnya. Berdasarkan isinya itulah dibedakan beberapa jenis lontaraq, seperti lontaraq atturiolong, lontaraq bilang, lontaraq adeq, lontaraq ulu’ ada’, lontaraq allopo-loping, lontaraq panguriseng, lontaraq pallao’ ruma dan lontaraq paqbura. (Farid, Abidin, 1972, h.iv). Jenis pustaka lainnya biasa dikenal dengan nama Galigo, Toloq dan Sureq, misalnya Galigona Meonpalo Karellae, Toloqna Petta Malampeq Gemmeqna, dan Sureq Makkelluna Nabitta.

Kalau kata lontaraq dihubungkan dengan nama suatu kerajaan, maka yang dimaksudkan ialah sejarah kerajaan bersangkutan, misalnya Lontaraqna Bone atau Lontaraqna Wajo. Dan jika ia dirangkaikan dengan nama wilayah, daerah atau suku, maka yang dimaksudkan ialah naskah yang menggunakan bahasa daerah bersangkutan, misalnya Lontaraq Ugi, Lontaraq Mangkasa atau Lontaraq Menreq. Ketiga – tiganya dapat saja menggunakan aksara yang sama, namun tetap ia dinamakan demikian.

Aksara lontara adalah buah karya masyarakat Bugis Makassar. Huruf - huruf lontara diperkirakan terinspirasi oleh bentuk segi empat pada jalinan anyaman tikar. Menurut Prof HA Mattulada (alm), aksara lontara’ terinspirasi oleh “sulapa eppa wala suji“. Wala suji berasal dari kata wala yang berarti pemisah / pagar / penjaga dan suji berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa’ (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta : api, air, angin dan tanah.

Pohon Lontar itu dalam Bahasa Makassar disebut tala’, sedang dalam bahasa bugis disebut ta’. Pohon lontar yang batangnya lurus ke atas, tidak bercabang – cabang itu biasa disimbolkan sebagai lambang persatuan penduduknya. Daunnya, batangnya, buahnya dan airnya, semuanya itu dapat dipergunakan manusia dalam hidupnya. Terutama daunnya yang dapat dipakai sebagai kertas di masa lampau (Makassar : lontara’), dan niranya dapat diminum untuk menyegarkan dahaga, dapatlah diambil sebagai perlambang ilmu pengetahuan. Mungkin karena sebab ini pulalah sehingga Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar menjadikan pohon lontara’ sebagai salah satu motif dari lambangnya.

Menurut HD Mangemba, pohon lontaraq itu merupakan pohon yang tumbuh spesifik di Sulawesi Selatan, di sepanjang pesisir selatan dari Gowa sampai Bulukumba. Kurang sekali pulau tempat tumbuhnya di Indonesia. Oleh sebab itu menurut orang Makassar, bahwa dimana saja ada pohon lontar, maka tempat (negeri) itu dahulunya ada hubungannya dengan Kerajaan Gowa.

Sejak Tu-manurung menjadi raja pertama di Gowa, maka daun lontar itulah yang dipakai sebagai payung kerajaan Gowa, yang dalam terminologi Makassarnya disebut, “La’Lang Sipuwe” (La’lang = pajung, sipuwe = sebelah). Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwa sejak tu-manurung, kerajaan Gowa bukanlah suatu daerah yang statis, tetapi suatu daerah yang hendak berkembang menjadi suatu kerajaan yang meliputi bukan saja Sulawesi, tetapi jauh di luar daripada itu. Dan bahwa cita – citanya itu bukanlah suatu khayalan belaka, terbukti dari tertanamnya kepercayaan, bahwa dimana saja ada pohon lontar disitu pula pernah Gowa berkuasa. (?).

* * *

Dalam Lontaraq Gowa (Cense, 1978, h. 417) disebutkan bahwa yang “membuat lontaraq makassar” adalah Daeng Pamatte, syahbandar dan perdana menteri pada zaman pemerintahan Raja Gowa IX, Tumapakrisika Kallonna, selain itu Lontaraq Talloq (Wolhoff/Abdurrahim, Bingkisan AI, [1960],h.18) juga mencatat bahwa pada zaman pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna, “ukiran mulai menjadi baik”. Pada kedua catatan tersebut, terdapat perkataan lontaraq dan ukiriq yang sering diartikan tulisan, sehingga pada umumnya orang menganggap Daeng Pamatte-lah yang menciptakan atau yang memperbaharui aksara lontaraq itu (Mills, 1975, jil. II, h. 600-603 dalam Fachruddin AE, 1999 : 34).

Masalahnya sekarang ada dua. Pertama, bolehkah kata ukiriq dan lontaraq dalam catatan tersebut diartikan tulisan ? Kedua, apa yang dimaksudkan pembaharuan aksara itu. (Fachruddin AE, 1999 : 36). Dalam Sejarah Goa (SG), terdapat beberapa kali penggunaan kata “lontaraq” dengan rangkaian kata yang berbeda – beda, yakni : taenapa lontaraq (h.12), ampareq lontaraq (h.18), dan nipailalang lontaraq (h.21), niparilontaraq (h.22), dan palontaraq (h.50). Oleh Wolhoff dan Abdurrahim, kedua yang pertama diartikan tulisan sedangkan ketiga yang terakhir diartikan naskah sejarah.

Selengkapnya dalam SG hal. 12 tersebut berbunyi demikian :
“Sanggenna Tunatangkaqlopi, sanggenna Tumasalangga Baraya(ng), taniassengi bainenna, taniasseng tongai anaqna, passangalinna ansossoranngi maqgauka bicaranna, taniasseng tongai bunduqna, taniasseng tonngai siapa sallona maqgauq, kataenapa lontaraq.”
 “Sampai kepada Tunatangkaqlopi, dan sampai kepada Tumasalangga Baraya(ng) tidak diketahui isterinya, tidak diketahui juga anaknya, hanya dikatakan bahwa mereka mewarisi pemerintahan, demikian ceritanya, juga tidak diketahui berapa lamanya memerintah, karena belum ada tulisan lontaraq”.

Jadi, menurut Prof Fachruddin Ambo Enre (Fachruddin AE, 1999 : 37), yang dimaksudkan dengan ‘taenapa lontaraq’ bukan berarti belum adanya tulisan, melainkan belum adanya pustaka yang memuat keterangan tentang raja, berapa lama ia memerintah, siapa isterinya, berapa anaknya, dan peperangan mana ia lakukan. Pustaka yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan “Lontaraq”. Adapun kutipan kedua sebagaimana tertulis dalam SG (h. 18) tersebut berbunyi, “Iapa anne karaeng uru mappareq rapang bicara, timu – timu ri bunduka ; sabannaraqnaminne karaenga nikana I Daeng Pamatte, ia sabannaraq, ia Tumailalang, ia tomminne Daeng Pamatte ampareki lontaraq Mangkasaraka”.

Seperti telah dijelaskan diawal bahwa jika kata lontaraq diikuti oleh kata yang menunjukkan wilayah, daerah atau suku, maka artinya ialah pustaka yang menggunakan bahasa daerah bersangkutan. Jadi frasa ‘ampareki lontaraq mangkasaraka’ sebagaimana kutipan diatas seharusnya diartikan “menyusun pustaka dalam bahasa Makassar” dan bukan “membuat huruf” Makassar. Terlebih lagi jika dirangkaikan dengan kalimat sebelumnya, yang menjelaskan bahwa Karaeng Tumapakrisika Kallonna yang memerintah pada waktu itu membuat undang – undang dan peraturan perang.

Jadi, Daeng Pamatte sebagai perdana menteri dan syahbandarnya itulah yang membukukannya, dan tidak ada hubungannya dengan penciptaan huruf atau aksara, seperti yang banyak ditafsirkan orang. Apalagi jika diingat bahwa pemerintahan raja tersebut pada awal Abad XVI, jauh sesudah aksara Kawi tidak digunakan lagi di daerah Jawa, yang menurut dugaan merupakan model aksara Makassar. (lihat tiga pendapat ahli mengenai asal usul aksara lontara : KF Holle (Holle, 1882, h.6), H. Kern (Kern, BKI, jil. VI, 1882, h. 136), dan RF Mills (Mills, 1975, jil. II, h. 602).

Untuk menjelaskan mengapa Daeng Pamatte dianggap menciptakan huruf lontaraq, Cense (1978 : 23-24) mengambil perkataan ‘angukiriq lontaraq’ dan ‘aqlontaraq’ yang diartikan dengan “menulis huruf makassar” dan “membaca dalam huruf makassar”. Sebenarnya kedua ungkapan tersebut secara umum diartikan “menulis buku” dan “membaca buku yang bernama lontaraq”. Adapun pengertian menulis huruf dalam SG disebut ‘maqlekoq balloq’. (Fachruddin AE, 1999 : 38).

Bahwa Daeng Pamatte mengadakan perbaikan atau perubahan huruf, menurut Prof Fachruddin Ambo Enre ((Fachruddin AE, 1999 : 38), kemungkinan itu tetap saja ada, mengingat bahwa semua aksara tidak ada yang sekali jadi dan berlaku untuk seterusnya tanpa perubahan. Kemungkinan perubahan itu antara lain dapat disebabkan oleh pengaruh dari luar, seperti aksara Kamboja yang mirip dengan aksara lontara pada huruf ga, ba, dan da. Juga karena Daeng Pamatte selain sebagai penulis, juga sebagai syahbandar yang banyak berkenalan dan berurusan dengan orang asing. Jadi perubahan itu menyangkut penggantian beberapa huruf saja dan bukan perubahan dari aksara lama menjadi aksara baru. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan, kedua aksara tersebut disebut Huruf Burung (HB) atau hurufu jangang-jangang dan Huruf Segi Empat (HSE) atau hurufu sulapa appa’.

* * *

Pertanyaan terakhir, Benarkah Siang (Kerajaan Siang di Pangkep) tidak mempunyai lontaraq ?. Dalam buku “Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2007), saya memberikan gambaran dua kerajaan tertua di jazirah Sulawesi Selatan, sebagai penguasa tak tertandingi di dua semenanjung sekitar abad XIII – XV, yaitu kerajaan Siang di Semenanjung barat dan Kerajaan Ussu (Luwu) di Semenanjung timur. Dua pakar UNHAS yang pernah saya temui, Dr Nurhayati Rachman dalam kegiatan “Revitalisasi Budaya di Pangkep” di Ruang Kerja Bupati Pangkep (2007) dan Prof Dr Rasyid Asba dalam kegiatan “Seminar Sejarah Kerajaan Siang” di Gedung Kesenian Mattampa (2009), sama – sama mengakui bahwa Kerajaan Siang adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang mungkin boleh jadi lebih tua atau sezaman dengan Kerajaan Ussu (Luwu) di sebelah timurnya.

Pakar lainnya seperti Dr Leonard Y Andaya, Prof Dr Zainal Abidin Farid (alm), Prof Dr Syaharuddin Kaseng, Budayawan Aminullah Lewa juga mengakui usia sejarah Kerajaan Siang yang sangat tua, bahkan dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Kerajaan Gowa pernah menjadi palili (negeri bawahan) Siang, bahkan Budayawan HM Taliu BA yang mengaku pernah bertemu langsung Dr Christian Pelras, (Antropolog, penulis buku ‘Manusia Bugis’) dalam tahun 1975 saat melakukan penelitian di Pangkep mengakui bahwa daerah ini memiliki jejak budaya gemilang di masa lampau.

Arkeolog Dr M Ali Fadhillah dan Irfan Mahmud yang melakukan ekskavasi tapak arkeologi di bekas pusat wilayah kerajaan Siang (2000) menduga bahwa pada abad XV, dua kerajaan tertua, Siang dan Luwu mengalami ancaman penurunan pengaruh dan kehancuran akibat ekspansi dua kerajaan modern yang sangat luar biasa. Kerajaan Gowa, yang menggantikan posisi Siang sebagai penguasa baru semenanjung barat jazirah Sulawesi Selatan dan Kerajaan Bone yang menggantikan supremasi kekuasaan Luwu di semenanjung timur. Pada Abad XVII, kedua kerajaan ini terus menerus berebut pengaruh sebagai simbol kekuasaan Kerajaan Makassar dan Bugis.

Jadi, jika kita berdasar pada usia sejarah Kerajaan Siang, sangat sulit bagi kita untuk bisa memahami bahwa ada keluarga bangsawan di Pangkep yang memiliki dan menyimpan lontaraq Siang ?. Dalam Fadhillah et,al. (2000 : 18), disitu ditunjukkan salinan lontaraq yang menurut Baso Ujung Johar (Pemerhati Budaya) di Pangkep tinggal di Paccelang adalah salinan lontaraq Siang kemungkinannya adalah salinan Toloqna Petta Malampeq Gemmekna yang tidak lengkap, karena isinya hanya berisi perjalanan dan perjuangan Arung Palakka dalam upayanya memerangi Somba Gowa, yang sedikit menyinggung posisi Raja I’bale (orang dari seberang lautan) dengan nama popular I Johoro, yang menemani Arung Palakka sampai di Pariaman.

Makam raja inilah yang popular dengan istilah Ponrok. (I Johoro Matinroe ri Ponrok) di tengah-tengah kawasan sawah dan empang antara Baru-baru dan Paccelang. Dari identifikasi Goedhardt (1933), Pelras menginterpretasikan bahwa I’bale sesungguhnya hidup pada masa konflik Gowa dan Bone (1660-1669), yang itu berarti periode islam. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa salinan lontaraq yang ditunjukan fotonya dalam Fadhillah et, all (2000) diawali dengan tulisan arab berbunyi ”Bismillahi rahmaniir raahim”.

Masa keemasan sejarah Kerajaan Siang sebenarnya, menurut Prof Dr Rasyid Asba (Sejarawan Unhas) kemungkinan antara Abad XIII – XIV. Pada awal abad XV, sudah terjadi penurunan pengaruh akibat penyempitan pelabuhannya (muara sungai siang) sebagai akses utama yang menghubungkan penduduk setempat dengan para pedagang dari sebelah barat kepulauan nusantara ditambah kehadiran Pelabuhan Sombaopu (Kerajaan Gowa) yang lebih populer dan kokoh memperkuat ekspansi. Pada masa ini, Siang hanya sedikit diketahui dari Catatan para pelaut Portugis, Antonio de Payva yang menyinggahi pelabuhan Siang (1542).

Jadi pertanyaan, Benarkah Siang (Kerajaan Siang di Pangkep) tidak mempunyai lontaraq ? Dengan tegas dan yakin, saya menjawab bahwa itu tidak ada. Kemungkinan yang ada adalah lontara tentang salasila kekaraengan di Pangkep pada periode belakangan, yaitu pada masa pemerintahan regentschappen onderafdeeling Pangkajene (masa pemerintahan Hindia Belanda). Dalam lontaraq Akkarungeng ri Bone, ada dijelaskan bahwa Raja Bone La Tenriaji to Senrima Matinroe ri Siang. Tentu saja, Siang yang dimaksud adalah Siang sebagai nama suatu daerah, dan tidak lagi pantas disebut sebagai nama suatu Kerajaan.
Demikian yang dapat saya jelaskan, wallahu ’alam. (***)

Selasa, 26 Juli 2011

Bagaimana Orang Bugis Makassar Memberi Nama Anaknya ?

Saya kira tidak ada seorangpun yang menyangsikan arti penting sebuah ’nama’. Nama dalam terminologi makassar disebut Areng dan dalam bahasa bugis disebut Sennu. Ungkapan yang sering mengatakan “Apalah arti sebuah nama ?” tidak berlaku bagi orang Bugis Makassar karena Nama bagi masyarakat Bugis Makassar adalah “sennunu’ sennuangeng”, artinya, “sesuatu yang padanya ditaruh harapan – harapan kebaikan”.
Bahkan dalam banyak hal, Areng / Sennu dianggap sesuatu yang sangat sakral, dianggap pamali (pantangan) ataupun mabusung (kualat). Sebagai contoh, seorang anak tidak boleh menyebut langsung nama orang tuanya atau siapapun orang yang dituakan dan dihormati, seorang isteri tidak boleh menyebut langsung nama suaminya.

Karena persoalan kesakralan nama ini bagi masyarakat Bugis Makassar yang membuat seringkali nama sebenarnya seorang raja tidak diketahui masyarakat umum, tapi hanya disebutkan gelar dan wilayah kekuasaannya. Seperti Karaeng Galesong, Karaeng Binamu, Karaeng Bonto-bonto, Karaeng Segeri, Karaeng Pangkajene, Arung Tanete, dan lain sebagainya. Ada semacam ketakutan, ‘mabusung’, jika menyebut langsung nama asli orang yang dihormati tersebut. Seperti Syekh Yusuf yang lebih dikenal dengan nama ‘Tuanta Salamaka’, I Mallombasi Daeng Mattawang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin atau cukup disebut Karaeng Gowa.

Di masa sekarang, pemahaman seperti ini belumlah benar – benar hilang meski banyak kita temui orang Bugis Makassar yang sudah sukar diidentifikasi nama dan karakternya karena namanya sendiri sudah bernuangsa kejawaan, keindonesiaan atau arab. Dahulu nama yang akrab kita dengar : Baso, Besse, Sampara’, Dollah, Magga, Dukelleng atau La Madukelleng, dan lain sebagainya.

Sekarang siapa yang dapat menyangkal bahwa ada juga orang Bugis Makassar yang bernama Satrio, Joko, Poernomo, Sudirman, dan lain sebagainya. Sementara percampuran antara nama bugis makassar dengan nama bernuangsa arab atau keislaman sudah lama terjadi seiring dengan proses pengislaman di daerah ini, hanya sayangnya seringkali pula tidak bersambung dengan nama bugis atau makassarnya.

Bagaimana sebenarnya orang Bugis Makassar memberi nama anaknya ?. Tentang memberi nama pada orang Bugis Makassar dapat dibagi atas beberapa periode yang tiap – tiapnya membawa pengaruh pada keadaan sang anak yang diberi nama itu.

Areng Dondo – dondo

Periode pertama ialah memberi nama semacam “nama sebut – sebutan” dalam terminologi Makassar disebut “areng dondo – dondo”, yaitu pemberian nama berdasarkan keadaan si anak atau kondisi pada saat sang anak dilahirkan, misalnya pada waktu dilahirkan kelihatan agak putih dibandingkan dengan saudara – saudaranya yang lain, apalagi kalau rambutnya tak begitu hitam, maka biasanya diberi “areng dondo – dondo” dinamai i-balanda. Kalau anak itu agak sipit matanya ia dinamai “i-cina” atau i-jepang. Biasa pula diberi nama menurut keadaan pada waktu itu. Misalnya sang anak dilahirkan pada masa kelaparan menjalar, maka ia biasanya dinamai I’pare (pa’re ialah kata Makassar tua untuk kata kelaparan) ; kata biasanya ialah cipuru.

Lain halnya lagi , umpama bapaknya bepergian ke suatu negeri, biasanya anak itu diberi nama menurut nama negeri yang dikunjungi oleh orang tuanya. Umpamanya ia berkunjung ke tanah suci Mekkah, maka sang anak diberi nama I Makka kalau laki – laki dan I Madinah kalau perempuan. Dan lain – lain lagi menurut keadaannya.  Areng dondo – dondo itu tadi biasanya tidak diganti lagi, nama itu tetap akan melekat dan tetap dijadikan areng rikale bagi seseorang, sekiranya sang anak itu sehat dan selamat, apalagi kalau nama itu tidak terlalu janggal kedengaran.

Areng Rikale

Kedua “nama diri” (areng rikale). Setelah si anak itu berumur 6 – 7 tahun atau lebih dahulu dari itu karena sudah sampai waktunya untuk disuruh mengaji (membaca Qur’an) atau ke sekolah, maka pada masa itu iapun diberi “areng rikale”. Pemberian nama ini biasanya ada dua macam, ada yang memberi nama arab, karena pada umumnya orang Makassar itu memeluk agama Islam. Ada pula yang masih memberi nama Makassar. Areng dalam bahasa arab itu biasanya dipilih Areng Nabbi (nama nabi) misalnya : Adam, Daud, Isa, Ibrahim, Muhammad dan lain – lain, ada juga yang memilih pemimpin – pemimpin islam lainnya, umpamanya : Abu Bakar, Usman, Ali, Umar, Ghazali, dan lain – lain.

Ada pula yang memilih salah satu dari Areng arab seperti Abdurrahman, Abdurrahim, Abdul Kadir, Abdurrajab, dan lain – lain nama dalam Bahasa Arab. Dan kepada anak perempuan akan diberi pula Areng menurut Areng baine (nama perempuan) dalam bahasa arab, seperti : Fatimah, Maemunah, Hadijah, Aisyah, Rabiah, Maryam, dan lain – lainnya.

Tentang nama dalam bahasa Makassar, biasanya dipilihnya salah satu dari nama – nama yang dimulai dengan kata “Mappa”, umpamanya : Mappaio, Mappangara, Mappanyukki, Mappasengka, dan lain – lain. Ada pula yang memilih nama – nama yang mendapat awalan “man” dan akhiran i, misalnya : Mangngarengi, Mannaungi, Mallombasi, Manrakkai, Manggasingi, dan lain – lainnya. Selain itu, Ada pula yang memberi nama anaknya menurut nama – nama benda yang ada disekelilingnya, seperti : I Bulu, I Binanga, I Tamparang, I Bara’, I Boning, dan lain – lainnya.

Bagi anak perempuan, dipilihnya nama – nama bunga seperti : I Rosi, I Kananga, I Malati, dan lain – lain. Selain nama bunga, juga dipilih nama barang – barang yang indah, seperti nama permata : I Baraliang, I Jamarro, I Peroso, I Baiduri, I Nillang, dll. Nama – nama kain indah umpamanya : I Dewangga, I Satting, I Sohalla, I Tjaulu, dan lain – lainnya. Nama – nama benda indah lainnya, misalnya I Bulaeng (emas), I Satanggi (setranggi), I Kamannyang (kemenyan), I Kalaru, I Sakati (keduanya nama gelang pakaian perempuan bangsawan), I Cincing (cincing), dan lain – lain.

Areng Pa’daengang

Nama gelaran atau areng paddaengang itu akan diberikan kalau seseorang mulai dewasa ; dan akan diberikan kepada orang yang memang berhak menyandangnya. Mereka disebut “tau rua arenna”, orang yang berhak dua nama, menunjukkan orang tersebut keturunan bangsawan.

Nama gelaran yang lazim dipakai anak laki – laki ialah kata kerja dan kata – kata sifat. Tentang kata – kata kerja, umpamanya Daeng Tjini (melihat), Daeng Ngerang (membawa), Daeng Mangemba (menghalau), Daeng Nyikko (mengikat), dan lain – lain. Tentang kata – kata sifat, umpamanya : Daeng Tinggi (tinggi), Daeng Bella (jauh), Daeng Bani (dekat), Daeng Tutu (hati – hati), dan lain – lain lagi sesamanya. Untuk anak perempuan, nama gelaran itu biasa dipakai kata agak lunak artinya, baik kata kerja maupun kata sifat serta keadaan lainnya, misalnya : Dg Mene, Dg Mainga, Dg Baji, Dg Bau’, Dg Ti’no. Juga kata – kata seperti Dg Tajammeng, Dg Nisanga, Dg Tama’ring, dan lain sebagainya.

Penamaan ‘areng paddaengan’ ini juga berfungsi sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyangnya agar mereka tetap dikenang dalam keluarga besarnya meskipun sudah beberapa lapis keturunan. Oleh karena itu nama nenek moyang biasanya dipakai kembali lagi atau diwarisi oleh cucu-cucunya.

Areng Pakkaraengang

Areng ini hanya diberikan kepada anak raja berdasarkan nama negeri atau kampong yang diperintahnya, misalnya : Karaengta Lakiung, Karaengta Patukangang, Karaengta Garassi’, Karaengta Barombong, Karaengta Ujung Tanah, Karaengta Bilaji, karaengta Data, Karaengta Riburane, Karaengta Mangngeppe’, dan lain – lainnya.

Areng Kamateang

Areng ini umumnya hanya diberikan kepada kalangan bangsawan tinggi. Diberikannyapun sesudah berpulang (meninggal) berdasarkan kondisi pada saat dia meninggal atau tempat dimana dia meninggal. misalnya, matinroe ri Siang, matinroe ri zikkiri’na, matinroe ri langgara’na, dan lain sebagainya.

Berdasarkan urut - urutan pemberian areng / sennu dalam masyarakat bugis makassar jelaslah bahwa masalah nama (Areng / Sennu) bukanlah hal yang sepele. Nama menunjukkan identitas, strata sosial, do’a dan harapan. (*)

Karaeng dan Puang di Masa Kini

KALAU Dahulu orang bertanya, itu anaknya karaeng siapa ?. Ketika disebut bahwa orang tersebut anaknya Karaeng A atau Karaeng B, maka orang langsung hormat dan segan terhadapnya, apalagi kalau orang tuanya tersebut mapparenta (karaeng maggau’). Kini tentu jika pertanyaan yang sama kita ajukan, tentunya jawabannya akan lain, dalam konteks penilaian seseorang terhadap status sosialnya. Status sosial seseorang itu telah tereduksi. Orang kini lebih banyak mempertanyakan status sosial seseorang dalam hubungannya dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, kekayaan, jabatan serta predikat haji yang disandangnya.

Sekarang mana ada orang yang mau memandang dan menghormati seorang ”andi” (anak karaeng) jika hanya berpendidikan rendah, tinggal di rumah yang reot, sehari – hari menghidupi keluarganya dari narik becak dengan penghasilan tidak menentu dan hanya pas – pasan untuk penghidupan sehari - hari, kecuali sedikit orang yang tidak mempermasalahkan status sosial dalam pergaulan hidupnya. Dengan kata lain, hanya sedikit orang yang memandang seseorang itu dalam perspektif agama bahwa tidaklah seseorang lebih mulia atas orang lain kecuali iman dan taqwanya di mata Tuhan.

Reduksi atas status sosial dewasa ini dari kebangsawanan karaeng (Makassar), Arung atau Puang (Bugis) ke jabatan, pangkat dan kedudukan terjadi di hampir semua lapisan masyarakat Bugis Makassar dimanapun berada. Karena saat ini tidak ada lagi raja atau kerajaan. Bukan lagi zaman pemerintahan kerajaan (monarki) sehingga lambat laun gelaran – gelaran yang berbau feodalistik sudah ditinggalkan. Masyarakat saat ini lebih memperhatikan aspek ’kekalabbirangan’ (keutamaan) itu dari segi pendidikan, pangkat, jabatan, haji, atau kedudukan sosial dalam pemerintahan.

Stratifikasi sosial lama hanya mungkin dapat dilihat pada masih bertahannya komunitas tradisional di Sulawesi Selatan dengan pemimpinnya yang begitu dihormati dan disegani, misalnya (Ammatoa) Kajang di Bulukumba, (Matoa) Toani Tolotang di Sidrap, dan (Puang Matoa) Bissu Dewatae di Pangkep tanpa memandang asal usul kekayaan, pangkat dan jabatan. Bahkan pemimpin komunitas kajang, Ammatoa, pernah mengeluarkan suatu ucapan ”yang sangat dahsyat” yang seharusnya membuatnya kita malu mendengarnya. ”Kalau masyarakat Kajang ditakdirkan menjadi kaya, maka sayalah orang terakhir menjadi kaya. Dan kalau masyarakat kajang ditakdirkan menjadi miskin, maka sayalah orang pertama yang menjadi miskin”. Hal yang sama kita lihat dalam perilaku dan kehidupan sehari – hari Puang Matowa, pemimpin komunitas Bissu Dewatae di Pangkep yang sangat sederhana dan bersahaja.

  * * *

Stratifikasi Sosial yang masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Pangkep dan daerah – daerah lainnya di Sulawesi Selatan, khususnya kalangan / keluarga yang memiliki garis keturunan ’bangsawan’ yaitu prinsip ’pemberian gelar atau predikat’ yang disebut ’ambokemmi makpabbati’ (hanya pihak ayahlah yang mewariskan strata sosialnya), artinya strata sosial anak akan menurun dan diperhitungkan menurut strata sosial pihak ayahnya.

Berdasarkan konsep tersebut, maka setiap anak yang lahir dari seorang laki – laki bangsawan akan menjadi bangsawan pula, kendati ibunya seorang hamba sahaya. Sebaliknya, semua anak yang lahir dari seorang laki – laki berketurunan orang kebanyakan akan menjadi orang kebanyakan pula, kendati ibunya adalah bangsawan tinggi atau puteri raja sekalipun. Berbeda dari sistem pewarisan strata sosial yang bertumpu pada strata sosial ayah, maka di dalam sistem pewarisan harta benda setiap anak berhak untuk menjadi ahli waris dari kedua pihak orang tua, baik, dari ayah maupun ibunya. (Makkulau, 2008).

Kalau dulu, orang tua pasti akan mengkhawatirkan perilaku sosial anaknya di mata masyarakat, jangan sampai mendapatkan cela dan gunjingan dari masyarakat, apalagi sampai masyarakat mengetahui bahwa yang bersangkutan keturunan “Karaeng” atau “Puang”. Sekarang zaman sudah berubah, adat sudah terlupakan. Orang yang berpendidikan sarjana dan mempunyai banyak harta kekayaan dapat pula ‘terakui’ atau ‘mengakui dirinya’ sebagai keturunan bangsawan (seorang Andi).

Dulunya, orang begitu malu dan hormat jika harus bertemu atau berpapasan jalan dengan seorang yang berdarah bangsawan. Sikap hormat ditunjukkan melalui tata krama dan komunikasi yang baik. Pelapisan sosial ketika itu sangat jelas dan kentara, yaitu ada bangsawan tinggi, bangsawan menengah dan bangsawan rendah serta ada kalangan rakyat kebanyakan (to-sama atau to-maradeka) dan ada ata’ (hamba sahaya/kuli/budak atau pembantu).

Penyebutan atau pengakuan nama kebangsawanan yang tidak berdasar seperti itu hanya akan mendatangkan gunjingan dan tertawaan orang. Biasa kita dengar orang mengatakan, “riolo andi kamma-kammanne petta”. (Bugis : Andi Wenni Petta Onnang). Ini sebenarnya ucapan yang mengolok-ngolok orang yang mengaku-ngaku berdarah bangsawan. Bangsawan yang dimaksud disini bukan lagi berarti dia anak raja atau keturunan raja dalam arti formal, tapi lebih kepada mengingat hubungan keturunan dari suatu rumpun keluarga. Dalam sisi tidak demikian, biasa orang berujar “kajili –jili” atau “ero nikana” sebagai suatu sindiran terhadap orang yang selalu membangga – banggakan keturunannya, menyebut – nyebut buyut dan neneknya sebagai bangsawan tinggi di masa lampau. Tentunya lebih parah lagi, kalau penyematan predikat ‘andi’ itu tidak berdasar, misalnya keturunan bangsawan hanya dari pihak orang tua ibu, bukan dari pihak orang tua laki - laki. (Makkulau, 2005 dan 2008).

Saat ini stratifikasi sosial yang berlaku atau yang dipandang dalam masyarakat Bugis Makassar tidak semata mempertahankan “status quo” kelebihan “seorang Andi” atas “seorang yang bukan Andi”, melainkan lebih memandang lagi “kekalabbirangan” (kelebihan atau keutamaan) yang lain, seperti : pangkat atau jabatan dalam pemerintahan, harta kekayaan / kepemilikan aset, atau tingkat pendidikan.

Seorang yang berpangkat, mempunyai kedudukan yang bagus dalam pemerintahan, terpandang atau dipandang oleh masyarakat, mempunyai relasi sosial dan empati yang tinggi di masyarakat, memiliki aset atau harta yang banyak serta berpendidikan tinggi dapat saja dipanggil puang atau karaeng oleh masyarakat karena kelebihannya itu. Inilah yang penulis maksudkan ’stratifikasi sosial baru’, meskipun sebenarnya hal ini berlaku umum dalam semua masyarakat dimana saja berada.

Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, orang yang secara keturunan “seharusnya” dipanggil puang, karaeng atau andi malahan tidak dipandang di masyarakat. Hal ini karena “faktor keturunan” itu dapat saja sekarang ini dipandang rendah, tidak diperhitungkan atau bahkan diperintah oleh yang bukan puang atau karaeng karena “faktor kelebihan lain sebagaimana disebutkan diatas”, apalagi bila yang bersangkutan tidak berpendidikan tinggi, jatuh miskin, hanya menjalani pekerjaan kasar atau buruh, tidak mempunyai kedudukan atau berpangkat serta tidak lagi memiliki relasi sosial yang luas. Ini bukan gejala baru, tapi sudah menjadi ’hukum alam’.

Demikianlah yang terjadi sekarang ini. Perubahan ’status kekaraengan’ tersebut adalah sah – sah saja dan bukan suatu kesalahan dalam hubungan sosial. Bukan lagi hal yang aneh jika terjadi demikian mengingat sekarang pemerintahan dijalankan bukan atas dasar kerajaan. Di beberapa pulau di Pangkep, stratifikasi sosial malahan didasarkan atas kepemilikan modal, dimana yang kuat modalnya — lazimnya disebut tuan, puang, karaeng, pak haji atau punggawa — dapat memerintah orang atau nelayan yang tidak kuat modalnya atau hanya menjadi pekerja atau buruh dari usaha perikanan tangkap sang pemilik modal. (*)